Mak Ijah berjalan lesu meninggalkan pasar, dia terlihat sangat kecewa, kulit keriput yang menghiasi wajahnya semakin jelas terlihat. Lalu lalang kendaraan dan hilir mudik para pejalan kaki tak dihiraukannya. Mak Ijah tak peduli, karena merekapun tak peduli padanya. Air mata menggenangi matanya yang sayu, bagaimana dia bisa memberi makan cucu semata wayangnya hari ini.
Uang dalam genggaman tangannya dilihat, lima ribu perak, sedangkan harga beras satu kilo enam ribu dua ratus rupiah, tidak cukup, bahkan kurang. hemh, dia menarik napas panjang. Kenapa, di usia yang renta ini, anaknya harus pergi mendahuinya menghadap Yang Kuasa? Mengapa tidak aku saja? batinnya merintih lirih.
Mak ijah duduk di tepian taman kota, perjalanan ke rumah masih begitu jauh, jika uang ini aku pakai untuk ongkos naik kendaraan umum, makin tak bisa aku dan cucuku makan. Ah, padahal badanku terasa berat, kakikupun telah pegal. Mata mak Ijah mengelilingi keadaan sekitar, taman kota yang indah, dengan pohon beringin besar, air mancur, dan burung merpati yang sengaja dibuatkan kandang cantik, menambah nilai keindahannya.
Angin lembut membelai tubuhnya, lamunan Mak Ijah melayang pada tiga puluh lima tahun ke belakang, saat dirinya masih bersama Yatna suaminya, juga anak mereka. Hampir setiap hari minggu mereka mengunjungi taman ini. Membawa bekal makanan dari rumah dan menyantapnya dibawah pohon pohon beringin yang rindang. Keceriaan dan kebahagiaan, selalu menghiasi mereka bertiga. Saat itu tak ada yang namanya kesusahan seperti hari ini.
Ditengoknya uang lima ribu perak dalam genggaman, dan menutupnya kembali dengan genggaman yang lebih kuat. Ya Tuhan, tolonglah hambaMu ini, bagaimana hamba dan cucu hamba dapat makan hari ini?, begitu ungkapan hatinya saat ini. Airmata sudah tak dapat terbendung lagi, sesaat ketika dia sadar, dia segera menyapunya. Mengapa pedagang di pasar tadi begitu tega, bahkan menawar hargapun tidak diperbolehkannya, katanya, harga beras sekarang naik Mak, ini sudah harga yang paling murah. Kalau Emak mau cari yang lebih murah ya silahkan saja. Sudah ya Mak, saya mau melayani pembeli yang lain. Enteng dia bicara seperti itu, paling murah, itu sih menurut dia, untuk orang susah seperti aku harga enam ribu dua ratus itu mahal.
Mak Ijah menarik napas panjang, dia mengalihkan pandangannya ke arah air mancur. Andai saja, andai saja air mancur itu bukan menumpahkan air semata, andai saja air mancur itu juga memuntahkan uang recehan, tentu takkan sulit hidup ini. Mak Ijah tersenyum sendiri, dia sadar jika khayalannya adalah khayalan konyol.
Beberapa ekor kupu kupu berterbangan diantara bunga bunga anyelir, sesekali, kupu kupu itu hinggap tepat di putik dan benang sari, mengambil jatah makannya. Enaknya jadi kupu kupu, bisa bebas, terbang kesana sini tanpa harus mengeluarkan ongkos. tidak seperti aku, jika tak punya ongkos, ya beginilah, kemana mana harus mengandalkan kaki. Beruntung sekali nasib kalian.
Kembali Mak Ijah menarik napas panjang, mengapa aku dan suamiku harus mengalami kejadian itu, kenyataan pahit yang membuat kehidupan Mak Ijah jadi tak menentu. Kebakaran dasyat di pabrik konveksi mereka telah menghancurkan segalanya, bahkan telah mengambil nyawa suaminya. Utang dan berbagai tagihan menumpuk, memaksa Mak Ijah menjual seluruh kekayaannya, satu jalan terakhir yang terpaksa dilakukan, sebab pihak Bank dan penanam modal meminta utang kepada mereka untuk segera dikembalikan.
Hidup dari rumah kontrakan satu ke rumah kontrakan lainnya, mengandalkan uang yang didapat dari hasil berdagang kecil kecilan, dasar hidup di lingkungan yang sama sama susah, jangankan untung, yang ada hanya banyaknya tetangga yang ngutang. Mak Ijah banting setir menjadi buruh cuci pakaian di perumahan sekitar rumah kontrakannya. Hasilnya lumayan, dia bisa memberi makan anaknya, dan juga menyekolahkannya. Biarlah badan yang menanggung, yang penting anakku bisa melanjutkan sekolah, sayang jika dia tidak sekolah, otaknya pintar, persis bapaknya. Tekad Mak Ijah saat itu.
Benar saja, Purnama anaknya, tumbuh menjadi anak yang pandai, beberapa kali dia mendapatkan beasiswa dari sekolah, bahkan sampai ke jenjang universitas. Betapa bangganya Mak Ijah saat itu, walau buruh cuci pakaian, dia bisa mengantarkan anaknya menjadi Sarjana.
Kehidupan Mak Ijah setelah Purnama bekerja menjadi jauh lebih baik, mereka telah bisa membeli sebuah rumah di pinggir kota, rumah yang didiaminya sekarang. Purnama kemudian menikah dengan Indah, dan memberikan Mak Ijah seorang cucu yang sangat cantik, cucu semata wayangnya yang sekarang sedang menunggu dirumah.
Ya Tuhan, aku lupa, cucuku menunggu di rumah, dia pasti lapar sekarang. Mak Ijah segera berdiri dari duduknya, dan saat dia berdiri, kepalanya terasa sangat berat, pandangan matanya berkunang kunang, badanpun terasa sempoyongan. Gelap, sekarang semuanya gelap, tangan Mak Ijah mencari sesuatu untuk dijadikan pegangan, Bruk, satu benturan keras terasa di belakang kepalanya. Setelah itu, Mak Ijah, merasa badannya begitu ringan, seakan akan dia sedang melayang.
“ Kenapa nenek tua itu mas?” tanya seorang lelaki kurus diantara kerumunan.
“katanya sih meninggal karena serangan jantung pak, kasihan,” jawab orang disebelahnya.
Seorang ibu muda berbaju merah ikut menimpali, “saya enggak tega lihatnya Pak, kepalanya sampai mengeluarkan darah gara gara terbentur ke batu besar itu”, ujarnya sambil menunjuk kearah batu kali yang cukup besar. posisinya, berada tepat dibelakang Mak Ijah duduk tadi.
Para petugas dari kepolisian dan petugas dari Rumah Sakit mulai berdatangan, dengan sigap, mereka mengurus nenek tua itu. Badan rapuh itu diangkat, dan di masukkan ke dalam ambulan, suara sirine di nyalakan, semua kendaraan menyisi, memberikan jalannya .
Mak Ijah bangun dari ketidaksadarannya, cahaya putih dengan sinar yang tak menyilaukan menyoroti dirinya. Mak Ijah bangun dari posisi tidurnya, dia mendapati tangannya kini tak keriput lagi, terlihat kencang, seperti ketika dia berumur dua puluhan, Mak Ijah meraba wajahnya, sungguh, keriput itu telah hilang, ini keajaiban. Mak Ijah melihat keadaan sekelilingnya, kosong, hampa, tidak ada apa apa, hanya satu buah pintu, yang mendorong keinginannya untuk membuka.
Mak Ijah berjalan perlahan dan ragu ragu menuju pintu, tangannya telah menyentuh pintu, masuk atau jangan, hatinya diliputi kebimbangan. Setelah lama berdiri dibalik pintu itu, akhirnya Mak Ijah mengambil keputusan, dia membuka pintu itu. Disana, nampak suaminya Yatna, anaknya Purnama beserta Indah menantunya berdiri menyambut Mak Ijah di taman yang sangat indah, lebih indah dari taman kota. Ma Ijah berlari untuk bergabung bersama orang orang yang dirindukannya. Tapi, mana cucu semata wayangku?
emaaakk,,, emaaakk,, jangan tinggalin Rosa mak.
Emak, bangun Mak, Rosa takut … Mak, bangun Mak, emaaakkk…., jerit dan ratap Rosa ketika berada di depan jenasah Emak kesayangannya.
Nenek tua yang meninggal di taman kota.
Rancaekek, September 2010.