Nyonya Amida sedang menyirami bunga di halaman tatkala Pak Karta, supir pribadinya datang bersama seorang pemuda berbadan tegap. Hendra namanya, mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Bandung.
“Selamat sore Nyonya!” Karta unjuk salam.
“Ya Pak Karta, anak ini yang Bapak bicarakan kemarin?”
“Betul Nyonya, namanya Hendra, dia datang dari Bandung. Sok Hen, ngawanohkeun maneh heula ka Nyonya!” perintah Karta pada Hendra.
Hendra mengulurkan tangan , senyum sejenak tersungging di bibir Hendra bersamaan dengan disambutnya uluran tangan oleh Amida.
“Saya Hendra Nyonya, saya bermaksud mengajukan permohonan pekerjaan di perusahaan anda,” sopan dan rengkuh sekali Hendra berbicara.
“Baiklah, tapi saya tidak dapat begitu saja menerima kamu bukan? Simpan saja lamarannya Pak Karta, nanti saya lihat apakah Hendra ini cocok untuk bekerja di perusahaan kita”.
“Baik Bu, terima kasih atas kesempatan yang Ibu berikan terhadap keponakan saya”.
“Ya, sudah”
“Kalau begitu saya permisi dulu Nyonya, saya mau mengantar kepokanan saya pulang ke kontrakan dulu, dia belum begitu hapal kota ini”
“Silahkan Pak Karta, dan jangan lupa besok sebelum pergi ke kantor, antar saya menemui Pak Johan dulu jadi datanglah lebih pagi Pak Karta!” Amidah mengingatkan.
“Ya Nyonya, besok jam enam pagi saya sudah disini, permisi Nyonya”
“Ya”.
Nyonya Amida melanjutkan pekerjaannya, sementara di dalam rumah Bi Nurmi asyik menontonsebuah tayangan drama asia dikamarnya. Hemh, majikan dan pembantu yang aneh.
-0-
“Mang, kinten kintenna abdi ditampi damel moal nya?” tanya Hendra kepada pamannya dengan logat Sunda yang begitu kental.
“Nya tungguan weh, sugan atuh ditarima, jadi engke maneh bisa nuluykeun deui kuliah, lebar ari sakeudeung deui mah kudu eureun teh, karunya si Ema di lembur”.
“Muhun Mang, abdi ge kadinya emutan teh hawatos ka Ema, anjeuna nyimpen harepan nu ageung ka abdi, tangtos abdi teu kengeng nguciwakeun anjeuna. Kuliah kantun skripsi, tiasa engke di dugdag ti dieu ka Bandung mah panginten” jawab Hendra sambil menerawang masa depannya.
-0-
Meeting hari ini, membawa kabar yang sangat menggembirakan bagi Amida, perusahaannya berhasil mengadakan sebuah kerja sama dengan pihak asing dan itu artinya perusahaan ini akan segera lebih maju lagi. Semua berkat Hendra, Anak muda itu pandai menyakinkan rekanan bisnis mereka.
Baru enam bulan bekerja, Hendra telah membawa angin segar pada perusahaan Amida, itu membuat nama Hendra cepat melejit diantara rekan rekan kerjanya.
Amidapun bangga memiliki pegawai yang totalitas, dan loyal pada perusahaannya. Dan yang membuat Aida mulai memperhatikan anak muda ini, adalah kemampuan Hendra dalam mengatur hidupnya. Lihat saja, Hendra mampu menyelesaikan kuliahnya. Benar benar pintar, dia tidak menyia nyiakan usianya yang memang seharusnya produktif.
Setiap hari bertemu Amida dan Hendra menjadipun semakin akrab.
-0-
Tak dapat menyalahkan cermin jika benda itu mulai memperlihatkan garis garis halus diwajahnya, atau dahinya yang mulai bergelombang karena termakan usia.
Empat puluh usia Amida kini, usia menjelang senja dalam kesendirian.
Tok … tok … tok …, suara pintu diketuk dari luar kamar.
“Ya Bi, masuk! Ga dikunci kok,” Amida dapat menebak pastilah si empu pengetuk pintu itu Bi nurmi.
“Bu, ada nak Hendra diluar katanya mau ada perlu sama Ibu, suruh masuk atau bilang ga ada aja Bu?,”
“Suruh masuk saja Bi, oh ya hari ini Pak Karta libur ya? Tadinya saya mau minta antar sama Pa Karta, saya mau jalan jalan ke Parang Tritis, tapi ya sudah, biar saya sendiri saja yang menyetir”.
-o-
Hendra sedang melihat lihat lukisan seorang wanita yang terpampang besar di ruang tamu saat Amida menuruni tangga. Lukisan yang cantik, sama seperti pemilik lukisannya.
“Ma’af lama menunggu Hen, bagaimana? Ada hasil pertemuan kemarin dengan kolega kita?”
“Iya Bu, semuanya sesuai dengan harapan kita, mereka menyetujui perjanjian bisnis yang kita ajukan, bahkan mereka sudah bersedia memberikan DPnya. Dan diluar dugaan kita, mereka mau membayar setengah dari jumlah keseluruhannya dalam waktu dekat ini,” jawab Hendra lugas.
“Baguslah, jika ini berhasil, ada bonus untuk kamu Hen, kamu perlu apa motor? Nanti saya berikan!” janji Amida atas keberhasilan Hendra.
“Terima kasih Bu, mudah mudahan mereka tidak membatalkan perjanjian kerja sama ini,” ungkap Hendra penuh harap.
“Sekarang kamu ada acara Hen? Bisa menyetir? Saya butuh teman untuk melepas kepenatan, antar saya sekedar jalan jalan ya Hen!” sebuah permintaan tanpa memberikan peluang untuk mengelak.
-0-
Bibir pantai terlihat lengang, hanya satu dua orang yang masih berada disana. Pesona laut di sore hari benar benar eksotis. Indah bukan hanya milik mereka yang sedang memadu kasih, atau sebagian dari mereka yang sedang berpagutan bibir. Indah Parang tritis milik semua, termasuk mereka yang masih sendiri, seperti Amida dan Hendra. Hemh Parang tritis nan romantis.
Amida sangat menikmati nuansa alam sore ini, wajahnya berbinar melihat ujung lautan. Disebelahnya, Hendrapun menikmati keindahan, bukan keindahan Parang tritis, karena Hendra melihat apa yang telah membuat Parang tritis begitu indah. Amida.
Kamu cantik, walau usiamu tlah senja. Kamu menarik, walau usia kita berbeda. Begitu bisik hati Hendra saat memandangi Amida.
Amida, dapat merasakan ada seseorang sedang memandanginya. Hatinya jadi tak menentu, antara malu dan tersanjung sebagai wanita.
“Hen,” tegur Amida membuyarkan pandangan Hendra pada lamunannya.
“ Eh iya Bu? Ada apa?” wajahnya memerah seketika saat Hendra tahu, ternyata Amida sedang memandanginya.
Kenapa bisa aku terbawa lamunan, sampai sampai aku tak tahu jika Bu Amida sedang balik memandangiku? Ah, brengsek, bodoh sekali aku ini, gerutu Hendra pada dirinya.
“Hen, boleh aku pinjam bahumu?“
Tatapan mata Amida begitu sendu, seakan ada banyak keinginan yang tak terungkapkan.
“Kenapa Bu? Adakah ganjalan di hati Ibu? Dengan senang hati saya pasti memberikan apa saja yang dibutuhkan oleh Ibu”
“Terima kasih Hen!” ujar Amida sambil menyenderkan kepala di bahu Hendra yang kokoh.
Hendra melirik pada wajah yang kini menempel di bahunya, ada air mata yang mulai tergenang , kemudian perlahan mengalir mengituti lekuk wajah pemiliknya.
Sebagai lelaki, rasa ingin melindungi Hendrapun datang, hatinya tergerak untuk membuat Amida nyaman.
Tangan kanan Hendra, merangkul bahu Amida, sesekali tangannya itu mengusap punggung wanita yang lama telah mencuri perhatiaan dia.
“Sudah jangan menangis, jika tak keberatan, dan ada yang ingin diceritakan ceritakan saja, saya pandai menjaga rahasia kok Bu.”
Amida menarik nafas panjang untuk sesaat, diangkat wajahnya itu dari bahu nan kokoh.
“Benarkah? Kamu tidak keberatan jika aku bercerita?”
Hendra mengernyitkan keningnya,”kenapa harus keberatan? Dengan senang hati, saya bersedia mendengarkan curhat anda, silahkan mau mulai dari mana? Dari sini atau dari sana?” gurau Hendra sambil menunjuk arah laut kanan dan kiri. Amida pun terbahak bahak.
“hu-uh dasar! ha…ha..ha,” wajah Amidapun terlihat sedikit ceria kembali.
-0-
Di ufuk Barat ujung pantai Parang tritis Sang surya terlihat senyum berpamitan.
Amida menarik nafas panjang, memandang Hendra yang kini sedang menikmati manisnya senyum Sang Surya.
“Hen, aku ingin seperti wanita lain, memiliki suami dan anak anak. Usiaku kini telah senja, semua itu mungkin hanya menjadi impian. Hen, kamu tahu? hari ini ulang tahunku, usiaku hari ini genap empat puluh tahun, seharusnya aku telah memiliki anak remaja”.
“hemh, itu yang selama ini menjadi fikiran Ibu ya? Kenapa harus dijadikan beban? Ya tinggal cari pasangan saja, apa susahnya? Ibu wanita yang cantik, pandai, mandiri dan modern. Tentu banyak sekali laki laki yang tertarik”.
“Ya gak segampang itu kali Hen, ini kan soal hati, saya merasa tidak ada yang akan tertarik dengan saya, saya sudah tua, sudah kadaluarsa ”
Hendra menatap tajam, walau ragu tangannya merangkul erat tubuh Amida.
"Jangan takut, ada aku menemanimu".
Seketika Amida merasakan goncangan hebat dalam dirinya, dia tak percaya dengan pendengarannya.
Benarkah? Atau ini hanya mimpi? Tak mungkin! Tak mungkin! Kamu hanya ingin mampermainkanku saja anak muda.
Amida mendorong tubuh Hendra hingga rangkulan Hendrapun terlepas.
"Jangan main main Hendra! Tak mungkin kamu mencintai saya. Kamu masih muda, dan wanita tua bukan seleramu!"
Sedikit gelengan kepala tanda Amida benar benar menyangsikan kesungguhan Hendra.
Sejenak Hendra terkejut melihat reaksi Amida namun kembali dia dapat menyadari situasi diri Amida.
"Dengar! tidakkah kamu sadar, selama ini aku begitu memperhatikanmu, setiap hari aku selalu mencarimu. Tak ada niat aku untuk mempermainkanmu," dengan suara lembut Hendra berusaha menjelaskan apa yang dirasakannya.
"Entahlah," jawab Amida pendek.
"Ya sudahlah, jangan kita bahas. Kita lihat saja nanti apakah aku benar benar serius denganmu, sekarang kita nikmati saja senja ini, bagaimana?" sebuah usulan bagus bagi Amida.
Amida menaikkan bahunya sambil tersenyum, dan Hendra kembali menarik tubuh Amida kedalam pelukannya.
Ah, indahnya senja Parang tritis ini, apalagi sinar surya belumlah tenggelam, bisik hati Amida.
"Oh ya Hen, mulai saat ini panggil aku Amida saja"
"Jadi, tak usah memakai Bu lagi nih?, Amida?"
Dan hinggaplah sebuah cubitan kecil di perut Hendra. Aih, sinar Surya belum tenggelam rupanya.