Cerpen: Layang-layang


Layang-layang, dia berlenggak-lenggok menggoda awan. Kuperhatikan, mata indahnya sesekali melirik kahyangan. Kira-kira apa yang dia inginkan?desis otakku. 

Layang-layang melemparkan senyumnya padaku.
"Puspa, kita sama ya?"suaranya merdu menyapa.
"Kita ... sama?" tanyaku heran. "Sama bagaimana?"tanyaku lagi.

Layang-layang genit mengedipkan sebelah matanya, bibirnya tetap tersenyum. Sejurus kemudian tubuhnya semakin tinggi ke atas awan. Oh tidak, dia mulai menghilang!.

Aku berlari menuju padang rumput. Aku terus mengejar dan memanggil-manggil namanya.
Entah berapa lama aku terpaku di padang rumput sepi ini, namun aku harus bersabar demi sebuah jawaban.

Mungkin, Sang layang-layang sekarang merasa kasihan, diapun kembali datang. 
"Puspa, lihatlah dirimu, bacalah hatimu!"ujarnya.

Aku terdiam. Sekarang, bukan saja tubuhku yang terpaku, namun bibirku juga terpaku.
"Ya, aku sama denganmu, aku selalu ingin terbang lebih tinggi," bisik kejujuranku.

"Puspa, jangan ingin menjadi aku, jangan ingin terbang terlalu tinggi"

Bagai anak panah terlontar dari busurnya, layang-layang melesat membelah langit. 
Sepertinya dia menuju kahyangan, mengejar impiannya  menjadi ratu kahyangan.

Ya Tuhan, dia menukik! 
Apa yang sedang terjadi, Tuhan?

Oh tidak,  dia tertiup angin!
Dia terhempas!

Berlinang air mataku melihat nasib Sang layang-layang.
Layang-layang sekarang  semakin jauh ... jauh ... kemudian menghilang.

Tuhan, aku tak ingin seperti layang-layang.