Marni


Laut Pasang. Bulan Purnama menggantung. Aku sedang duduk  memeluk lutut menikmati desiran angin di ujung perahu saat Marni datang.  Dialah orang yang sedari dulu menemaniku melaut, yang aku bunuh dua tahun lalu.

Pikiran melayang, diombang-ambing hingga sampailah pada kejadian itu. ”Man…, kalau kau tak segera nikahi aku, aku akan bicara pada istrimu tentang kehamilanku” 

Itulah awal dari semuanya. Aku langsung marah dan emosi saat Marni yang aku cintai bicara seolah mengancam aku. Kami bertengkar seru. Dia tak mau kalah, dia melawan sengit. Dan aku kehilangan akal sehatku.

Kepalaku seakan mau buncah, suara Marni  memekakkan telinga.  Saat itu aku hanya ingin satu agar Marni berhenti teriak dan melawan padaku. Dan Marnipun benar-benar  terdiam setelah aku memukulkan sebuah balok kayu dikepalanya.

Malam ini, Marni seperti biasa datang untuk temani aku. Hanya saja dia terlihat beda dari biasanya. Penampilannya sungguh beda kali ini. Jika hari-hari kemarin, dia berkebaya dan berkain samping. 
Malam ini, dia mengenakan baju serba putih. Wajahnya pucat dan bersedih.

“Man…, ini adalah pertemuan kita yang terakhir,” ucap Marni  saat aku mencumbunya. “Man…, kamu harus merelakan aku…” katanya lagi saat aku  menindihnya. “Man…..” desahnya dalam lirih.

Gelombang laut pasang, deburan ombak semakin keras. Ada napas saling berkejaran dibawah sinar bulan Purnama yang menggantung. “Man…, dunia kita berbeda, berbeda……” Bisik satu suara indah yang aku kenal melalui angin laut ke telingaku. 

Kembali aku duduk memeluk lutut di ujung perahu. Hati galau. Lautpun sepertinya gundah gulana.
“Marni……..”