"Ditempat itu, Rey, kita bisa meminta apa saja. Meminta kekayaan, jabatan, bahkan jodohpun bisa," Wawan masih saha dengan bualannya itu berbicara.
"Ah, aku tetap tak percaya, Wan. Kalo kita mau kaya ya tetap saja dengan usaha, tapi kalau jodoh, yah bolehlah, ha ha ha ..."
"Ah, terserah kamu lah, Rey!"
"Ya, kalo penghuni batu pesugihan itu cantik, why not?" Tanyaku enteng.
"Hush! Jangan sembarangan kamu kalau ngomong!"
_o_
Sebenarnya entah mengapa saat Wawan bercerita tentang tempat pesugihan itu aku sangat tertarik. Selama ini, aku tak percaya pada hal-hal yang begitu diluar akal. Hanya orang bodoh yang mau dikelabui dengan cerita mistis pesugihan. Dimana-mana jika inginkan uang tentu harus dengan usaha yang gigih.
Tapi mengapa tadi aku malah mau mendengarkan cerita Wawan? Aneh. Rasanya ada sesuatu yang menarik untukku. Apakah ini hanya keingintahuanku? Ya, sepertinya ini karena aku merasa tertantang untuk membuktikan, bahwa yang namanya pesugihan itu tidak ada.
_o_
Satu minggu sejak Wawan bercerita padaku tentang batu pesugihan itu, aku begitu gelisah. Ada apa gerangan? Mengapa ingin sekali aku pergi ke tempat batu pesugihan itu? Bukan, bukan uang yang aku inginkan. Aku hanya inginkan kebenaran bahwa apa yang dikatakan Wawan itu tidak benar.
Okey, aku telpon kamu, Wan. Kita berangkat untuk membuktikan bahwa kamu salah, dan omonganmu itu hanya cerita tanpa fakta. Masa sih ada wanita cantik muncul dari batu? Wanita cantik itu keluar dari diskotik! Bodoh.
_o_
"Yakin kamu mau melakukan perjalanan ini, Rey? Memangnya kamu mau minta apa sih?" Tanya Wawan.
"Sudah, kamu kemudikan sajalah mobilnya, tak usah banyak tanya. Pokoknya seperti perjanjian kita, jika sudah lelah mengemudi, kita gantian, okey?"
"Siap, Gan. Apapun pertintah Tuan. Rokoknya dong!"
"Yaaah..., katanya kau baru balik dari pesugihan, masa untuk rokok saja kau tak punya. Nih!"
Wawan hanya tersenyum. Rokok dibakarnya, dan sejurus kemudian dari bibirnya sudah mengeluarkan asap mengepul.
_o_
Mobil kami tinggalken di halaman rumah Pak Gendon. Menurut Wawan, Pak Gendon adalah kuncen di Batu Pesugihan. Dia yang akan mengantar dan menjadi media penghubung kami dengan penghuni Batu Pesugihan.
Saat malam tiba, Pak Gendon mengajak kami untuk segera naik gunung. Walau badan masih terasa capek, kami terpaksa menuruti apa kata Pak Kuncen.
"Nak Rey sudah melakukan dulu puasa mutih sebelumnya?" Tanya Pak Gendon ditengah perjalanan.
"Sudah, Pak, sesuai anjuran dari Wawan," jawabku.
"Bagus, dan apakah nak Rey sudah yakin ingin melakukan ini? Jika masih ragu, atau hanya penasaran ingin membuktikan, lebih baik nak Rey kembali saja," ucapan Pak Gendon sedikit membuatku tersinggung. Namun, dalam fikiranku aku merasa heran, mengapa seolah dia tahu apa sebenarnya tujuanku.
"Saya yakin, Pak!" Jawabku tegas. Wawan melirik padaku, kupelototi saja dia.
_o_
Kami bertiga duduk menghadap batu pesugihan. Dupapun dibakar, asapnya mengepul, dan harum dupa menyeruak ke sekeliling tempat. Pak Gendon komat-kamit merapalkan mantra-mantra dalam bahasa jawa yang aku dan Wawan tidak pahami artinya. Ah, peduli amat, pikirku.
Selang beberapa menit kemudian dari batu itu keluar asap putih membumbung setinggi dua meter. Perlahan namun pasti asap itu membentuk siluet postur tubuh manusia, dan akhirnya tampak sosok perempuan cantik berambut panjang telah berdiri dihadapan kami.
_o_
"Ada apa Kisanak memanggil aku?" Tanya wanita itu dengan lembut.
"Ma'afkan saya, Nyai, saya hanya bermaksud mengantar majikan saya kehadapan Nyai," ujar Pak Gendon sambil menengok padaku.
Wanita cantik itu menatapku tajam, pandangan matanya menusuk jantungku. Spontan jantungku ini berdegup kencang. Ada rasa takut, takjub dan masih tak percaya.
"Kau, jika kau kemari hanya untuk menantang aku, lebih baik kau segera pergi dari sini. Kisanak, bawa pergi mereka"
Wajah Pak Gendon seketika memerah, dia melirik tajam padaku. Wawan terlihat melongo ke arahku. Aku sendiri hanya bisa diam dan menunduk malu.
_o_
Sudah dua bulan sejak kami meninggalkan batu pesugihan itu, bayangan wanita cantik itu masih menghantui aku. Terkadang aku mimpi basah karenanya. Ah, gila! Benar-benar gila. Seperti malam tadi, lagi-lagi dia kembali. Puas sekali aku bercinta dengannya. Oh ya tentu, karena kali ini bukan dalam mimpi, namun seutuhnya dirinya. Aku sudah menjadi kekasihnya.
_o_
Di Rumah Sakit Jiwa. "Bagaimana keadaan pasien Wawan, Suster?" "Dia masih saja meracau tentang batu pesugihan dan temannya yang meninggal itu, Dokter...."